BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Selama kurang lebih tiga puluh dua
tahun masa pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia mengalami suatu kondisi
dimana terjadi pemusatan/ sentralisasi dan penyeragaman dalam sistem
pemerintahan. Seruan- seruan untuk kehidupan yang demokratis diabaikan oleh
penguasa. Segala proses pengambilan kebijakan publik berada di tangan kaum elit
politik. Pemerintah menjadi sangat berkuasa sehingga melahirkan kesewenang-
wenangan/ otoriter dan cenderung represif. Keberhasilan di bidang pembangunan
dan ekonomi membuat pemerintah pusat semakin percaya kepada sistem sentralisasi
dan penyeragaman. Birokrasi pun dirancang untuk berkiblat dan memenuhi
kebutuhan pemerintah pusat sehingga menjadi tidak inovatif dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat. Hal tersebut berbalik menjadi bumerang bagi
pemerintah ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, disaat pemerintah pusat
mengalami keterbatasan ternyata birokrasi menjadi kelimpungan untuk menopang
peran pusat. Kegagalan- kegagalan pemerintah untuk mengatasi krisis tersebut
membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Kondisi tersebut
menunjukkan kerapuhan sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga diperlukan
perubahan kepemimpinan dan reformasi di segala bidang kehidupan.
Di era reformasi, ketika kebijakan
desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi, masyarakat masih tetap
pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik- praktik negatif
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah
daerah, peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan warga masyarakat
dan sulitnya ber investasi karena rumitnya proses perijinan. Intinya,
permasalahan yang terjadi tidak banyak berubah yaitu buruknya penyelenggaraan
tata pemerintahan (poor governance). Buruknya penyelenggaraan tata
pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Dominasi kekuasaan oleh satu pihak
terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan
2. Terjadinya tindakan KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme)
3. Rendahnya kinerja aparatur termasuk
dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang
Selain unsur diatas, buruknya
birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari:
1. Penyalahgunaan wewenang dan masih
besarnya praktek KKN
2. Rendahnya kinerja sumber daya manusia
dan kelembagaan aparatur
3. Sistem kelembagaan (organisasi) dan
tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai
4. Rendahnya efisiensi dan efektivitas
kerja
5. Rendahnya kualitas pelayanan umum
6. Rendahnya kesejahteraan PNS
7. Banyaknya peraturan
perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan
tuntutan pembangunan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah fungsi hukum tata
pemerintahan (fungsi hukum Administrasi Negara) dalam mewujudkan pemerintahan
yag bersih dan Bebas KKN?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Dalam berbagai literatur dapat
ditemukan berbagai pengertian/ definisi tentang hukum. Pengertian- pengertian
tersebut dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain:
1. Sudut pandang etimologis/ asal
kata:
a. Hukum:
Kata
“hukum” berasal dari bahasa adalah Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata
jamaknya adalah “alkas”, yang selanjutnya diambil alih bahasa Indonesia
menjadi “hukum”. Didalam pengertian “hukum” terkandung pengertian bertalian
erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
b. Recht:
Kata “Recht” berasal dari
kata “Rectum” dalam bahasa latin yang mempunyai arti “bimbingan” atau
“tuntutan” atau “pemerintahan”. Kata “rectum” bertalian dengan kata “rex”
yang dapat diartikan sebagai “raja” atau “orang yang pekerjaannya memberikan
bimbingan atau memerintah”. Kata “rectum” juga dapat dihubungkan dengan
kata “directum” yang berarti “orang yang mempunyai pekerjaan membimbing atau
mengarahkan”.
Kata “recht” atau bimbingan atau pemerintahan selalu
didukung oleh kewibawaan. Seseorang yang membimbing atau memerintah harus
mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan
sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan
demikian kata “recht” mengandung pengertian kewibawaan dan hukum ditaati
orang secara sukarela.
Dari kata “recht” timbul istilah “gerechtigheid”
(istilah dalam bahasa Belanda) atau “gerechtigkeit” (istilah dalam
bahasa Jerman) yang berarti “keadilan” sehingga hukum juga mempunyai kaitan
yang erat dengan keadilan. jadi dengan demikian “recht” dapat diartikan hukum
yang mempunyai dua unsur penting, yaitu kewibawaan dan keadilan.
c. Ius:
Kata
“ius” berasal dari bahasa Latin yang berarti “hukum”. Kata “ius”
berakar dari kata “iubere” yang berarti “mengatur” atau “memerintah”.
Kata “ius” bertalian dengan kata “iustitia” atau “keadilan”.
Dalam mitologi Yunani, “iustitia” adalah nama dewi keadilan. Dewi
keadilan tersebut digambarkan sebagai seorang wanita dengan kedua mata
tertutup, tangan kirinya memegang neraca sedangkan tangan kanannya memegang
pedang. Gambaran tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
Jadi secara etimologi dapat
disimpulkan bahwa “ius” yang berarti “hukum” bertalian erat dengan “iustitia”
yang berarti “keadilan” yang terdiri dari unsur- unsur wibawa, keadilan dan
tata kedamaian.
d. Lex:
Kata “lex” berakar dari kata
“lesere” dalam bahasa Latin yang berarti “mengumpulkan orang- orang untuk
diberi perintah”, disini terkandung makna wibawa dan otoritas sehingga kata “lex”
yang berarti hukum sangat berkaitan erat dengan perintah dan wibawa.
2. Sudut pandang dari pendapat para pakar:
a. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum
adalah keseluruhan kumpulan peraturan- peraturan atau kaedah- kaedah dalam
suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.
b. Prof. Dr. P. Borst:
Hukum
adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam
masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata
atau keadilan.
c. Prof. Dr. van Kan:
Hukum
adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi
kepentingan manusia di dalam masyarakat.
B.
Hukum
Tata Pemerintahan (Administrasi Negara)
Dalam ilmu hukum, hukum tata
pemerintahan disebut juga sebagai hukum tata usaha negara atau hukum
adminitsrasi negara. Hukum tata pemerintahan mempunyai pengertian/ definisi.
Berikut beberapa pengertian yang di simpulkan oleh para pakar:
1. Pendapat Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H:
Hukum yang
mengatur negara dalam keadaan bergerak, yaitu hubungan yang timbul dari
kegiatan administrasi antara bagian- bagian negara dan antara negara dengan
masyarakat.
2. Pendapat R. Soeroso, S.H:
Hukum yang mengatur susunan dan
kekuasaan alat perlengkapan Badan Umum atau hukum yang mengatur semua tugas dan
kewajiban dari pejabat- pejabat pemerintah didalam menjalankan tugas dan
kewajibannya.
3. Pendapat J.M Baron de Gerando:
4. Pendapat C. van Vollenhoven:
Merupakan pembatasan terhadap
kebebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada
pemerintah; akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi megandung arti
pula, bahwa mereka yang harus taat kepada pemerintah menjadi dibebani pelbagai
kewajiban yang tegas bagaimana dan sampai dimana batasnya, dan berhubung dengan
itu, berarti juga, bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.
C. Pemerintahan yang Bersih dan Bebas
KKN
Konsep pemerintahan yang bersih dan
bebas KKN identik dengan konsep Good Governance (pemerintahan yang
baik). Terdapat beberapa penafsiran mengenai pengertian Good Governance,
antara lain:
1. Definisi dari UNESCAP (United
Nations Economic and Social Comission for Asia and the Pacific/ Komisi
Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Sosial dan Ekonomi Asia Pasifik):
“Good governance adalah suatu
pengertian yang tidak ditentukan, (pengertian tersebut) digunakan dalam
pengembangan kepustakaan untuk menggambarkan bagaimana institusi- institusi
publik melaksanakan urusan- urusan kemasyarakatan dan mengelola sumber daya
(milik) umum dalam rangka menjamin realisasi hak- hak asasi. Pemerintahan
menggambarkan proses pembuatan keputusan dan proses pelaksanaannya (atau proses
tidak dilaksanakannya). Istilah pemerintahan dapat dipakai untuk menunjuk
kepada korporat, internasional, nasional, pemerintahan daerah atau pada
hubungan- hubungan antar sektor- sektor lain dalam masyarakat”.
2. Definisi yang umum di masyarakat:
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan
yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah
tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
Menurut UNESCAP, Konsep pemerintahan
yang bersih dan bebas KKN mempunyai beberapa ciri- ciri umum, antara lain:
1.
Partisipasi (Participation):
“Partisipasi oleh pria dan wanita adalah
pedoman kunci good governance. Partisipasi dapat dilakukan secara
langsung atau melalui perwakilan- perwakilan atau institusi- institusi
perantara yang sah. Penting untuk ditunjukkan bahwa dalam demokrasi perwakilan
tidak selalu berarti kekuatiran pihak- pihak yang paling lemah dalam masyarakat
akan selalu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Partisipasi perlu untuk
disebar luaskan pada masyarakat dan diorganisasi. Ini berarti kebebasan
berserikat dan menyatakan pendapat pada satu sisi dan masyarakat sipil pada
sisi yang lain”.
2.
Tegaknya hukum (Rule of law):
Pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN memerlukan kerangka kerja hukum yang adil yang penegakan hukumnya
dilaksanakan secara menyeluruh dan tidak sepotong- sepotong. Hal tersebut juga
memerlukan perlindungan penuh terhadap hak- hak asasi manusia, lebih khusus
lagi kepada kaum minoritas. Penegakan hukum yang menyeluruh memerlukan
peradilan yang bebas dan kepolisian yang bebas dari korupsi.
3.
Transparansi (Transparency):
“Transparansi berarti bahwa keputusan-
keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dalam tata cara yang sesuai
dengan peraturan- peraturan dan regulasi- regulasi. Hal tersebut juga berarti
bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses secara langsung oleh
pihak- pihak yang akan dipengaruhi oleh keputusan- keputusan dan
pelaksanaannya. Hal tersebut juga berarti bahwa informasi yang cukup tersedia
dan disediakan dalam bentuk dan media yang mudah untuk dipahami”.
4.
Sikap tanggap (Responsiveness):
Pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN memerlukan institusi- institusi dan proses- proses yang melayani
semua pihak yang berkepentingan dalam kurun waktu yang masuk akal atau pantas.
5.
Orientasi pada kesepakatan (Consensus
oriented):
“Terdapat beberapa pelaku dan sudut pandang
dalam masyarakat. Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN memerlukan mediasi
kepentingan- kepentingan dalam masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang luas
tentang apa yang menjadi kepentingan paling utama seluruh anggota masyarakat
dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai. Hal tersebut juga memerlukan suatu perspektif
jangka panjang yang luas tentang apa yang diperlukan dalam pembangunan manusia
yang berkelanjutan.
Dan sesuai dengan landasan hukum menurut UU
RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari
KKN
UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai
peranan yang sangat menentukan dalam
penyelenggaraan negara untuk mencapai cita2 perjuangan bangsa mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945;
penyelenggaraan negara untuk mencapai cita2 perjuangan bangsa mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945;
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara
Negara yang mampu menjalankan fungsi
dan tugasnya secara sungguh2 dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan
asas2 penyelenggaraan negara.
dan tugasnya secara sungguh2 dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan
asas2 penyelenggaraan negara.
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme tidak hanya dilakukan antar
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan
pihak lain yang dapat merusak sendi2 kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya;
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan
pihak lain yang dapat merusak sendi2 kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
M e m u t u s k a n :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat
Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih
adalah Penyelenggara Negara yang menaati
asas2 umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
asas2 umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau
kerja sama secara melawan hukum antar
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
6. Asas Umum Pemerintahan Negara yang
Baik adalah asas yang menjunjung tinggi
norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7. Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut
Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa
kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyeienggara Negara untuk
meneegah praktek korupsi, kolusi. dan nepotisme.
Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa
kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyeienggara Negara untuk
meneegah praktek korupsi, kolusi. dan nepotisme.
D. Fungsi Hukum Tata Pemerintahan dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan bebas KKN
Dalam mewujudkan pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN terdapat beberapa hambatan utama dalam kaitannya dengan
penegakan hukum, antara lain:
1. Anggapan mengenai korupsi yang
dianggap sebagai budaya sehingga sulit untuk dirubah.
2. Masih kurangnya keikutsertaan
masyarakat dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
sehingga hanya menjadi slogan dan hanya menjadi wacana belaka.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas
KKN, hukum tata pemerintahan memegang peranan atau “fungsi”
yang sangat penting, antara lain:
1.
Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan
dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam
bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam praktik
operasionalnya, dapat dilakukan dengan cara:
a.
Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan semua
kegiatan;
b.
Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c.
Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui
koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan
masyarakat;
d.
Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional,
produktif, dan bertanggung jawab;
e.
Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan
pemeriksaan;
f.
Peningkatan pemberdayaan penyelenggaraan antar dunia usaha dan
masyarakat dalam pemberantasan KKN.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam upaya mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan bebas KKN, hukum tata pemerintahan (administrasi Negara)
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan
dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam
bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
2.
Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan
dalam upaya meningkatkan
peran serta masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,
terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
B.
Saran
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas
KKN, selain pemberian penghargaan (reward) kepada peran serta
masyarakat, pemberian penghargaan aparat pemerintah perlu untuk diberikan
payung hukum. Dengan sistem pemberian penghargaan kepada peran serta masyarakat
dan aparat pemerintah maka diharapkan akan terjadi peningkatan motivasi untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.
0 komentar:
Posting Komentar