Makalah Hukum Tata Pemerintah

Senin, 07 Mei 2012

| | |

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun masa pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia mengalami suatu kondisi dimana terjadi pemusatan/ sentralisasi dan penyeragaman dalam sistem pemerintahan. Seruan- seruan untuk kehidupan yang demokratis diabaikan oleh penguasa. Segala proses pengambilan kebijakan publik berada di tangan kaum elit politik. Pemerintah menjadi sangat berkuasa sehingga melahirkan kesewenang- wenangan/ otoriter dan cenderung represif. Keberhasilan di bidang pembangunan dan ekonomi membuat pemerintah pusat semakin percaya kepada sistem sentralisasi dan penyeragaman. Birokrasi pun dirancang untuk berkiblat dan memenuhi kebutuhan pemerintah pusat sehingga menjadi tidak inovatif dan tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal tersebut berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, disaat pemerintah pusat mengalami keterbatasan ternyata birokrasi menjadi kelimpungan untuk menopang peran pusat. Kegagalan- kegagalan pemerintah untuk mengatasi krisis tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Kondisi tersebut menunjukkan kerapuhan sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga diperlukan perubahan kepemimpinan dan reformasi di segala bidang kehidupan.
Di era reformasi, ketika kebijakan desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi, masyarakat masih tetap pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik- praktik negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah daerah, peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan warga masyarakat dan sulitnya ber investasi karena rumitnya proses perijinan. Intinya, permasalahan yang terjadi tidak banyak berubah yaitu buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance). Buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal, antara lain:
1.      Dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan
2.      Terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
3.      Rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang
Selain unsur diatas, buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari:
1.      Penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya praktek KKN
2.      Rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur
3.      Sistem kelembagaan (organisasi) dan tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai
4.      Rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja
5.      Rendahnya kualitas pelayanan umum
6.      Rendahnya kesejahteraan PNS
7.      Banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah fungsi hukum tata pemerintahan (fungsi hukum Administrasi Negara) dalam mewujudkan pemerintahan yag bersih dan Bebas KKN?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum
Dalam berbagai literatur dapat ditemukan berbagai pengertian/ definisi tentang hukum. Pengertian- pengertian tersebut dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain:
1. Sudut pandang etimologis/ asal kata:
a. Hukum:
Kata “hukum” berasal dari bahasa adalah Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “alkas”, yang selanjutnya diambil alih bahasa Indonesia menjadi “hukum”. Didalam pengertian “hukum” terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.
b. Recht:
Kata “Recht” berasal dari kata “Rectum” dalam bahasa latin yang mempunyai arti “bimbingan” atau “tuntutan” atau “pemerintahan”. Kata “rectum” bertalian dengan kata “rex” yang dapat diartikan sebagai “raja” atau “orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah”. Kata “rectum” juga dapat dihubungkan dengan kata “directum” yang berarti “orang yang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan”.
Kata “recht” atau bimbingan atau pemerintahan selalu didukung oleh kewibawaan. Seseorang yang membimbing atau memerintah harus mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian kata “recht” mengandung pengertian kewibawaan dan hukum ditaati orang secara sukarela.
Dari kata “recht” timbul istilah “gerechtigheid” (istilah dalam bahasa Belanda) atau “gerechtigkeit” (istilah dalam bahasa Jerman) yang berarti “keadilan” sehingga hukum juga mempunyai kaitan yang erat dengan keadilan. jadi dengan demikian “recht” dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting, yaitu kewibawaan dan keadilan.
c. Ius:
Kata “ius” berasal dari bahasa Latin yang berarti “hukum”. Kata “ius” berakar dari kata “iubere” yang berarti “mengatur” atau “memerintah”. Kata “ius” bertalian dengan kata “iustitia” atau “keadilan”. Dalam mitologi Yunani, “iustitia” adalah nama dewi keadilan. Dewi keadilan tersebut digambarkan sebagai seorang wanita dengan kedua mata tertutup, tangan kirinya memegang neraca sedangkan tangan kanannya memegang pedang. Gambaran tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
Jadi secara etimologi dapat disimpulkan bahwa “ius” yang berarti “hukum” bertalian erat dengan “iustitia” yang berarti “keadilan” yang terdiri dari unsur- unsur wibawa, keadilan dan tata kedamaian.
d. Lex:
Kata “lex” berakar dari kata “lesere” dalam bahasa Latin yang berarti “mengumpulkan orang- orang untuk diberi perintah”, disini terkandung makna wibawa dan otoritas sehingga kata “lex” yang berarti hukum sangat berkaitan erat dengan perintah dan wibawa.
2. Sudut pandang dari pendapat para pakar:
a.       Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan- peraturan atau kaedah- kaedah dalam suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

b.      Prof. Dr. P. Borst:
Hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.
c.       Prof. Dr. van Kan:
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.

B.     Hukum Tata Pemerintahan (Administrasi Negara)
Dalam ilmu hukum, hukum tata pemerintahan disebut juga sebagai hukum tata usaha negara atau hukum adminitsrasi negara. Hukum tata pemerintahan mempunyai pengertian/ definisi. Berikut beberapa pengertian yang di simpulkan oleh para pakar:
1.      Pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum yang mengatur negara dalam keadaan bergerak, yaitu hubungan yang timbul dari kegiatan administrasi antara bagian- bagian negara dan antara negara dengan masyarakat.
2.      Pendapat R. Soeroso, S.H:
Hukum yang mengatur susunan dan kekuasaan alat perlengkapan Badan Umum atau hukum yang mengatur semua tugas dan kewajiban dari pejabat- pejabat pemerintah didalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
3.      Pendapat J.M Baron de Gerando:
Hukum yang mengatur hubungan timbal- balik antara pemerintah dan rakyat.
4.      Pendapat C. van Vollenhoven:
Merupakan pembatasan terhadap kebebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah; akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi megandung arti pula, bahwa mereka yang harus taat kepada pemerintah menjadi dibebani pelbagai kewajiban yang tegas bagaimana dan sampai dimana batasnya, dan berhubung dengan itu, berarti juga, bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.


C.    Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN
Konsep pemerintahan yang bersih dan bebas KKN identik dengan konsep Good Governance (pemerintahan yang baik). Terdapat beberapa penafsiran mengenai pengertian Good Governance, antara lain:
1.      Definisi dari UNESCAP (United Nations Economic and Social Comission for Asia and the Pacific/ Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Sosial dan Ekonomi Asia Pasifik):
 Good governance adalah suatu pengertian yang tidak ditentukan, (pengertian tersebut) digunakan dalam pengembangan kepustakaan untuk menggambarkan bagaimana institusi- institusi publik melaksanakan urusan- urusan kemasyarakatan dan mengelola sumber daya (milik) umum dalam rangka menjamin realisasi hak- hak asasi. Pemerintahan menggambarkan proses pembuatan keputusan dan proses pelaksanaannya (atau proses tidak dilaksanakannya). Istilah pemerintahan dapat dipakai untuk menunjuk kepada korporat, internasional, nasional, pemerintahan daerah atau pada hubungan- hubungan antar sektor- sektor lain dalam masyarakat”.

2.      Definisi yang umum di masyarakat:
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
Menurut UNESCAP, Konsep pemerintahan yang bersih dan bebas KKN mempunyai beberapa  ciri- ciri umum, antara lain:
1.      Partisipasi (Participation):
 “Partisipasi oleh pria dan wanita adalah pedoman kunci good governance. Partisipasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui perwakilan- perwakilan atau institusi- institusi perantara yang sah. Penting untuk ditunjukkan bahwa dalam demokrasi perwakilan tidak selalu berarti kekuatiran pihak- pihak yang paling lemah dalam masyarakat akan selalu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Partisipasi perlu untuk disebar luaskan pada masyarakat dan diorganisasi. Ini berarti kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat pada satu sisi dan masyarakat sipil pada sisi yang lain”.
2.      Tegaknya hukum (Rule of law):
Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN memerlukan kerangka kerja hukum yang adil yang penegakan hukumnya dilaksanakan secara menyeluruh dan tidak sepotong- sepotong. Hal tersebut juga memerlukan perlindungan penuh terhadap hak- hak asasi manusia, lebih khusus lagi kepada kaum minoritas. Penegakan hukum yang menyeluruh memerlukan peradilan yang bebas dan kepolisian yang bebas dari korupsi.
3.      Transparansi (Transparency):
 “Transparansi berarti bahwa keputusan- keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dalam tata cara yang sesuai dengan peraturan- peraturan dan regulasi- regulasi. Hal tersebut juga berarti bahwa informasi tersedia secara bebas dan dapat diakses secara langsung oleh pihak- pihak yang akan dipengaruhi oleh keputusan- keputusan dan pelaksanaannya. Hal tersebut juga berarti bahwa informasi yang cukup tersedia dan disediakan dalam bentuk dan media yang mudah untuk dipahami”.
4.      Sikap tanggap (Responsiveness):
Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN memerlukan institusi- institusi dan proses- proses yang melayani semua pihak yang berkepentingan dalam kurun waktu yang masuk akal atau pantas.
5.      Orientasi pada kesepakatan (Consensus oriented):
 “Terdapat beberapa pelaku dan sudut pandang dalam masyarakat. Pemerintahan yang bersih dan bebas KKN memerlukan mediasi kepentingan- kepentingan dalam masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang luas tentang apa yang menjadi kepentingan paling utama seluruh anggota masyarakat dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai. Hal tersebut juga memerlukan suatu perspektif jangka panjang yang luas tentang apa yang diperlukan dalam pembangunan manusia yang berkelanjutan.

Dan sesuai dengan landasan hukum menurut UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN
UNDANG-UNDANG REPUBLK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.       bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
penyelenggaraan negara untuk mencapai cita2 perjuangan bangsa mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945;
b.       bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi
dan tugasnya secara sungguh2 dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan
asas2 penyelenggaraan negara.
c.       bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan
pihak lain yang dapat merusak sendi2 kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan
landasan hukum untuk pencegahannya;
d.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Mengingat :
1.      Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dengan persetujuan:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
M e m u t u s k a n :
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.      Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati
asas2 umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3.      Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4.      Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar
Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
5.      Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
6.      Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi
norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7.      Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut
Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa
kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyeienggara Negara untuk
meneegah praktek korupsi, kolusi. dan nepotisme.

D.    Fungsi Hukum Tata Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan bebas KKN
Dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN terdapat beberapa hambatan utama dalam kaitannya dengan penegakan hukum, antara lain:
1.      Anggapan mengenai korupsi yang dianggap sebagai budaya sehingga sulit untuk dirubah.
2.      Masih kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN sehingga hanya menjadi slogan dan hanya menjadi wacana belaka.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, hukum tata pemerintahan memegang peranan atau “fungsi” yang sangat penting, antara lain:
1.      Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam praktik operasionalnya, dapat dilakukan dengan cara:
a.       Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan semua kegiatan;
b.      Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c.       Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;
d.      Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif, dan bertanggung jawab;
e.       Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan;
f.       Peningkatan pemberdayaan penyelenggaraan antar dunia usaha dan masyarakat dalam pemberantasan KKN.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, hukum tata pemerintahan (administrasi Negara) mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.      Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
2.      Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

B.     Saran
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, selain pemberian penghargaan (reward) kepada peran serta masyarakat, pemberian penghargaan aparat pemerintah perlu untuk diberikan payung hukum. Dengan sistem pemberian penghargaan kepada peran serta masyarakat dan aparat pemerintah maka diharapkan akan terjadi peningkatan motivasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

0 komentar:

Posting Komentar